daftar blog gratis penghasil uang


Search

Kamis, 18 Februari 2010

ANTISIPASI Hama Penyakit

Salah satu hambatan utama dalam budidaya bawang merah adalah serangan hama dan penyakit. Untuk mengendalikannya, petani di sentra produksi Brebes, Jateng, memilih penggunaan pestisida kimia sintetik. Sementara petani di Desa Guntarano, Kecamatan Tanantovea, Kab. Donggala, Sulteng, justru memanfaatkan bahan-bahan alami alias racun nabati. Berikut pengalaman mereka bergelut dengan hama maupun penyakit yang merusak tanaman bawang merah.

Akbar, Memanfaatkan Kearifan Lokal
Dua tahun silam, seluruh kebun bawang merah di Desa Guntarano yang luasnya 83 ha, luluh-lantak oleh serangan lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis). Tak terkecuali kebun milik Akbar, Ketua Kelompok Tani Abadi. “Waktu itu, kebun saya hancur, saya rugi hingga Rp20 juta,” kenangnya.
Menurut Akbar, yang juga Ketua Gapoktan Guntarano, hambatan utama dalam budidaya bawang merah di wilayahnya memang hama pengorok daun. Sampai-sampai dinas terkait menginstruksikan para petani tidak menanam bawang merah selama tiga tahun untuk memutuskan siklus hidup hama itu. “Jika serangannya mengganas, bisa habis satu hektar dalam semalam,” tandasnya.
Pengalaman pahit itu memaksa Akbar memutar otak mencari cara pengendalian yang jitu. Dia menyimpulkan, ledakan Liriomyza itu dipicu oleh tingginya penggunaan insektisida kimia sehingga perlu dicari alternatif pengendaliannya. “Saya bersama petani lainnya sudah mencoba berbagai ramuan alami, dan berhasil,” akunya.
Beberapa jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai insektisida hayati itu adalah akar tuba, akar kelor, sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun mindi. Akar tuba atau akar kelor ditumbuk, diperas airnya, lalu larutannya disemprotkan. “Larutan ini bisa menyelamatkan 75% dari lahan yang terserang,” ucapnya.
Insektisida alami lainnya, yaitu campuran daun sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun mindi. Daun-daun itu dicincang dan dimasukkan ke dalam drum. Setengah drum berisi rajangan dan setengahnya lagi diisi air penuh. Setelah dibiarkan dua malam, larutan itu disemprotkan. Cara ini lebih banyak dipilih petani karena hasilnya lebih paten.

Akbar bersama kawan-kawan juga menemukan cara mengendalikan ulat grayak (Spodoptera exigua) dengan air gerusan cabai. Dosisnya, satu sendok teh dicampur 15 liter air (satu tangki semprot/knapsack).
Penyemprotan insektisida alami tersebut rata-rata seminggu sekali sejak ditemukan gejala serangan. Sampai menjelang panen, penyemprotan dilakukan 9 kali.
“Kalau ingin memanfaatkan musuh alami, tanaman bisa disemprot dengan air gula pasir untuk mengundang semut. Ulat grayak akan dimangsa semut,” cetusnya. Sedangkan untuk mengendalikan rerumputan (gulma), mereka menggunakan larutan sari buah kakao.
Alhasil, 186 petani dalam Gapoktan Guntarano, kini bisa bernapas lega. Hama yang sebelumnya menjadi batu sandungan, sejak 2008 dapat dikendalikan melalui kearifan lokal. Upaya itu mampu menekan penggunaan pestisida kimia hingga 50%. Mereka bersyukur karena sekarang melek inovasi teknologi dan wawasannya bertambah. Semua itu tidak terlepas dari peran Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), yang masuk ke Guntarano pada 2005. Pelaksanaan program yang dicanangkan Badan Litbang Deptan, dan sebagian didanai Asian Development Bank (ADB) itu, didukung oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan dinas pertanian setempat.
Dulladi, Mampu Membaca Alam
Di Wanasari, Brebes, nama Dulladi sudah tidak asing. Petani sekaligus penangkar benih bawang merah ini kondang lantaran jarang gagal dalam budidaya bawang merah untuk konsumsi maupun benih.
Pengalamannya selama bertahun-tahun telah mengantarkan Dulladi peka terhadap perubahan alam. Dari kepiawaiannya membaca perubahan lingkungan, akhirnya dia mampu menyusun strategi penanganan serangan hama maupun penyakit. Ia mengandalkan pestisida yang dgunakannya secara efektif dan efisien.
“Dengan kondisi alam sekarang, penyakit yang ditakuti petani (di Brebes) ada tiga, yaitu embun bulu, inul alias moler, dan bercak ungu atau trotol,” ucap Ketua Asosiasi Perbenihan Bawang Merah Indonesia (APBMI). Penyakit tersebut lebih banyak menyerang pada musim penghujan karena dipicu udara yang lembap.
Untuk mengendalikan penyakit embun bulu alias busuk daun, ia menyemprotkan fungisida merek Antracol, Rovral, dan Daconil. Penyemprotan dilakukan selang-seling. “Interval penyemprotan tergantung intensitas serangan. Biasanya 3 hari sekali, tapi kalau serangannya berat selang sehari,” terangnya.
Penyemprotan pertama pada umur 25 hari setelah tanam (HST). Satu tangki semprot berisi campuran empat sendok Antracol dan satu sendok Rovral. Campuran itu untuk dua kali semprot. Penyemprotan ketiga dan keempat berisi campuran empat sendok Antracol dan satu sendok Daconil. Pola seperti itu dipertahankan untuk penyemprotan-penyemprotan berikutnya hingga menjelang panen.
Sejak Mei ini, Dulladi memanfaatkan juga fungisida Trivia untuk mengendalikan penyakit busuk daun. Dosisnya sesuai anjuran pada label dengan interval penyemprotan tiga hari sekali. “Musim kemarau sekarang masih ada hujan sehingga timbul serangan penyakit,” alasannya.
Dulladi juga tetap menggunakan fungisida sekalipun pada musim kemarau. Tujuannya untuk berjaga-jaga bila tiba-tiba ada serangan. Hanya saja dosisnya dikurangi, dari empat sendok Antracol menjadi dua sendok.
Bila tanaman terserang trotol pada musim hujan, ia memakai rumus setengah. Pada 30 hari pertama, tanaman disemprot Antracol, dan 30 hari berikutnya sampai panen disemprot Dithane. Interval aplikasi tiga hari sekali. Tapi pada penanaman musim kemarau, aplikasi fungisida hanya Antracol. Dosis fungisida untuk musim hujan empat sendok per tangki semprot. Sedangkan pada musim kemarau dikurangi menjadi dua sendok per tangki. “Jika turun hujan dibarengi angin, tanaman yang disemprot Antracol lentur. Sementara yang disemprot fungisida lain, malah remuk,” ungkapnya.
Ceritanya lain lagi jika tanaman terserang penyakit inul. Fungisida pilihannya, Amistartop, Folicur, dan Rovral. “Ketika diketahui ada serangan, disemprot Amistartop dengan dosis 10 cc per tangki. Penyemprotan paling 3—4 kali,” ucapnya. Penyemprotan selanjutnya menggunakan Rovral. Sementara Folicur digunakan pada musim kemarau sekaligus untuk menghijaukan daun.
Lain lagi bila terserang hama. “Mayoritas hama di sini adalah ulat grayak dan lalat Liriomyza, yang biasanya muncul pada bulan sepuluh (Oktober),” ungkapnya. Kalau serangan tergolong sedang, dia menyemprotkan insektisida Buldok. Bila berat, dia mencampurkan 25 cc Hostathion dan 15 cc Prevathon. Penyemprotan dimulai pada umur 15 HST, dengan selang tiga hari.
Untuk mengendalikan pengorok daun, Dulladi mempercayakan kepada Trigard dan Cyrrotex. Aplikasinya diselang-seling agar hama tidak menjadi kebal. Yang jelas, untuk membeli insektisida dan fungisida, dia merogoh koceknya Rp4 juta—Rp5 juta per hektar per musim.
agrina-online.com, 14 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar